Di Susun Oleh Kurnia Ningsih
Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah
PENDAHULUAN
Islam adalah faktor penyemangat utama lahirnya berbagai disiplin
ilmu-ilmu Arab Islam. Kesadaran untuk mentaati aturan-aturan (hukum) mendorong
para ulama merumuskan fiqh dan kodifikasi Hadits. Kemudian muncullah berbagai
kitab fiqh beserta mazhab-mazhabnya.
Perhatian terhadap Al-Qur’an pun telah mendorong mereka untuk
merumuskan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan al-qur’an, dimulai dari
ilmu bacaannya (al-qira’ah) hingga tafsir-tafsirnya sehingga bermunculan
berbagai buku yang terkait dengan kajian al-Qur’an, seperti ilmu Nahwu dan
Linguistik.
Tokoh-tokoh atau ulama saat itu dapat dikatakan multi talented,
karena tidak hanya satu ilmu yang mereka pelajari tapi banyak pengetahuan yang
mereka pelajari. Termasuk tokoh-tokoh linguis Arab pun kebanyakan di antara
mereka seperti itu, disamping mengetahui banyak tentang linguistik, mereka juga
banyak mengetahui ilmu lain.
Sejumlah linguis Arab telah menaruh perhatian terhadap linguistik
sejak gerakan ilmiah dalam kerangka daulat Islam. Mereka memiliki hasil jerih
payah dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan kosakata. Orang-orang
yang berkecimpung dalam linguistik mengklasifikasikan dua kelompok. Kelompok
pertama menaruh perhatian terhadap konstruksi bahasa, sedangkan kelompok kedua
menaruh perhatian terhadap kosakata bahasa dan maknanya. Bidang kajian itu oleh
kelompok pertama diilustrasikan sebagai nahwu (gramatika) atau ilmu bahasa
Arab, sementara bidang tersebut diilustrasikan oleh kelompok kedua sebagai
bahasa atau linguistik atau filologi.
Salah satu tokoh ilmu Nahwu yang terkenal adalah Ibnu Jinni, yang
beliau juga ahli dalam ilmu Linguistik. Pada bab berikutnya, penulis akan
mencoba membahas biografi Ibnu jinni dan pemikirannya dalam linguistik.
A.
BIOGRAFI IBNU JINNI
Nama lengkapnya ialah Abu al-Fath Utsman Ibnu Jinni, lahir di
Mausil (Mosul) Irak. Tidak ada sumber sejarah yang pasti menginformasikan tahun
kelahirannya, tetapi ada yang berspekulasi bahwa ibnu Jinni lahir pada tahun
321 H atau 322 H. Ayahnya adalah seorang berbangsa Romawi, Ia menjadi hamba
sahaya dalam bahasa yunani dikenal dengan Gennaius.
Dari Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-Azdi al-Mausili, seorang menteri dari
Syaraf al-Daulah Qarawisy, gubernur Mosul.
Oleh karena itu, Ibnu Jinni sering pula menambahkan nama “al-Azdi” di belakang
namanya.
Asal keturunan Ibnu Jinni juga tidak diketahui dengan jelas.
Ayahnya keturunan Roma dan yunani, budak Sulaiman bin Fahad bin Ahmad al-Azdi.
Jadi, Ibnu Jinni bukan orang Arab. Oleh karena itu, Ibnu jinni sering menggunakan
nama majikannya di belakang namanya, yaitu, Abu al-Fatah Usman Ibn Jinni
al-Azdi.
Dengan lahirnya bukan sebagai orang Arab, maka Ibn Jinni berusaha
meningkatkan taraf hidupnya. Ibnu Makula menyebutkan bahwa Ismail ibn
al-Mu’ammal telah bercerita kepanya bahwa Ibnu Jinni orang yang terhormat,
karena itulah Ibnu Jinni meletakkan nama ayahnya di belakang namanya. Nama
Jinni jika ditranslitrasikan berasal dari kata gennaius, yang berarti
“mulia, jenius, baik fikirannya dan ikhlas.
Ibnu Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga di kota
kelahirannya tersebut. Di Mosul juga ia mendapatkan pendidikan dasarnya,
belajar ilmu nahwu pada gurunya yang bernama Ahmad bin Muhammad al-Mausili
al-Syafi’i yang lebih dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Setelah itu, ia pindah
ke Baghdad dan menetap di sana. Di kota ini, ia mendalami lingistik selama
kurang lebih empat puluh tahun pada gurunya yang sangat ia hormati dan ia
kagumi, Abu ‘Ali al-farisi.
Begitu lamanya Ibnu Jinni menimba pengetahuan bahasa pada Abu ‘Ali, sehingga
keduanya terjalin hubungan yang sangat erat seperti hubungan persahabatan.
Selain berguru secara khusus kepada Abu ‘Ali , Ibnu Jinni juga
banyak belajar pada tokoh linguistik lain, terutama yang terkait dengan
pengambilan sumber bahasa (ruwat al-lugah wa al-adab), di antara mereka ialah
Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Miqsam,
seorang pakar qira’ah al-Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin al-‘Assaf al-‘Uqaili
al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni menyebutnya dengan Abu Abdillah al-Syajari.
Ibnu Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang
merupakan abad puncak perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman, yang
pada umumnya para ilmuawan pada abad ini tidak saja menguasai satu disiplin
pengetahuan, tetapi juga menguasai disiplin-disiplin lainnya. Oleh karena itu,
tidak berlebihan apabila para penulis biografi Ibnu Jinni menyatakan bahwa
karya-karya tokoh yang satu ini menggabungkan teori linguistik, teori prinsip
fiqh (ushul fiqh), juga teori Ilmu Kalam karena dia penganut mazhab Mu’tazilah,
mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu Ali al-Farisi. Ibnu Jinni menetap di
Baghdad hingga wafat pada tahun 392 H tepatnya pada malam jum’at.
Baik ulama sezamannya, maupun generasi para linguis yang muncul
kemudian, mengakui penguasaan dan keluasan pengetahuan Ibnu Jinni atas
linguistik Arab. Abu Tayyib al-Mutanabbi (w.354 H), penyair yang sangat
terkenal dan sahabat Ibnu Jinni, misalnya, pernah berkomentar tentang Ibnu
Jinni, “Dia adalah sosok yang kehebatannya belum diketahui oleh banyak orang”.
Bahkan, apabila al-Mutanabbi ditanya tentang makna suatu kata yang ia ucapkan
(dalam puisinya), atau tanda harakat (I’rab) yang dianggap aneh, dia selalu
menjawab, “Tanyakanlah pada syaikh juling, Ibnu Jinni, dia akan menjawab
semuanya”. Demikian pula Thash Kubri Zadah yang dikenal dengan Ahmad bin
Mustafa, dalam bukunya Miftah al-Sa’adah, menyebutkan bahwa Ibnu Jinni
adalah intelektual yang sangat cerdas, memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam di bidang nahwu dan sharaf. Ibnu Jinni adalah linguis yang prolific
dan produktif. Ini dibuktikan dengan berbagai karyanya.
B.
KARYA-KARYA IBNU JINNI
Karya Ibnu Jinni sangat banyak, sekitar 49 buah judul yang telah
diketahui. Yaitu sebagai berikut:
1.
Al-Khashaish
Buku ini pertama kali dicetak dan diterbitkan oleh al-Hilal, Masir,
tahun 1923. Meskipun buku tersebut belum meluas, namun pengaruhnya sagat besar
di kalangan para ilmuan, sastrawan, peneliti maupun pemakai bahasa Arab.
2.
Al-Numam
Buku ini berisikan syair-syair ejekan. Buku ini merupakan syarh
dari buku al-Syakiri (wafat tahun 275 H) diterbitkan di Eropa kemudian buku
tersebut diberi judul كتابنا في شعر هذيلkemudian
dirubah lagi menjadi Kitabi fi Diwani Hudzail kemudian berubah lagi menjadi
al-Tamam, sehingga buku ini tidak diterbitkan lagi.
3.
Sirr al-Shina’ah
Tulisan pada buku ini berupa manuskrip-manuskrip. Banyak para
ilmuan yang mengedit dan memberikan komentar terhadap buku tersebut kemudian
mencetaknya seperti yang telah dilakukan oleh penulis buku Kasyfu al-dzhunun Abu
Abbas bin Ahmad Muhammad al-Isybili yang terkenal dengan nama Ibn al-Hajj
(wafat tahun 647 H).
4.
Tafsir tashrif al-maazini
5.
Syarh mustagliq abyaat al-humasah wa isytiqaq asmaai al-humasah
6.
Syarh al-Maqshur wa al-mamdud li ibn al-Sukait
7.
Ti’aaqabu
al-‘Arabiyah
8.
Tafsir diiwan limutannabii al-kabir
Buku ini terdiri dari 3 jilid dan lebih tebal dari buku
al-khashaish.
9.
Tafsiir ma’aanii diiwan al-mutannabii
10. Al-luma’ fii al-‘arabiyah
Buku ini merupakan kumpulan-kumpulan perkataan guru Ibnu Jinni,
yaitu Abu Ali al-Farisi. Naskahnya ada di Dar –alkutub dan buku ini banyak di
syarh oleh pebgarang-pengarang di belakangm=nya, namun masih berbentuk
manuskrip.
11. Kitabu mukhtashar al-tashrif
12. Al-Munsif
13. Al-Tasrif al-Muluki
14. Kitab Mukhtasar al-‘Arud wa
al-Qawafi
15. Kitab al-Hamzah al-Mamdudah
16. Kitab al-Muqtadab
17. Tafsir al-Muzakkar wa al-Mu’annas li
Abi Ya’qub
18. Kitabu Ta’yidi Tazkirah Abi Ali
19. Al-Mahasin fi al-‘Arabiyah
20. Al-Nawadir al-Mumti’ah
21. Al-Khatiriyyat
22. Al-Muhtasab fi syarhi Syawazi
al-Qira’at
23. Tafsir Urjuzati Abi Nawwas
24. Tafsir al-‘Alawiyat
25. Kitab al-Busyra wa al-Zufr
26. Risalah fi Maddi al-Aswat wa
Maqaddir al-Muddat
27. Kitab al-Muzakkar wa al-Muannas
28. Kitab Muqaddimati Abwabi al-Tasrif
29. Kitab al-Naqd ‘ala Ibni Waki’ fi
Syi’ri al-Mutanabbi wa Takhti’atihi
30. Al-Mu’rib fi Syarhi al-Qawafi
31. Kitab al-Fasl baina al-Kalam al-Khas
wa al-Kalam al-‘Am
32. Al-Talqin fi al-Nahwi
33. Kitab al-Ma’ani al-Muharrarah
34. Kitab al-Farq
35. Kitab al-Fa’iq
36. Kitab al-Khatib
37. Kitab al-Ara’iz
38. Kitab zi al-Qaddi
39. Syarh al-Fasih
40. Kitab Syarh al-Kafi fi al-Qawafi
41. Al-Tazkirah al-Asbihaniyah
42. Al-Tahzib
43. Al-Muhazzab
44. Al-Tabsirah
45. Kitab al-Zajr
46. Mas’alatani fi al Aimani li Muhammad
ibnu al-Hasan al-Syaibani
47. ‘Ilal al-Tasniyah
48. Al-Masa’il al-Wasitiyyah
49. Kitab Syarhi al-Ibdal li Ya’qub
C.
PEMIKIRAN IBNU JINNI
Seperti umumnya para linguis besar dalam tradisi linguistik Arab,
semisal Sibawaih, al-Farra’, al-Farisi, al-Zamakhsyari, dan lainnya yang
berlatar belakang teologi Mu’tazilah, Ibnu Jinni pun termasuk dari komunitas
tersebut. Mu’tazilah adalah komunitas intelektual yang mengedepankan cara
berpikir rasional.
Hanya saja, kerasionlan Ibnu Jinni dicurahkan untuk memikirkan
obyek-obyek linguistic dan merumuskan teori-teori yang diharapkan bisa diterima
oleh semua mazhab. Meskipun Ibnu Jinni penganut Mazhab Bashrah dan berupaya
mempertahankan pandangan-pandangannya, dia tidak fanatik, bahkan ia tak segan
mengambil teori-teori dari tokoh Mazhab Kufah, seperti al-Kisa’i dan Sa’lab.
Bahasa yang digunakan pun cukup santun, tidak melemparkan kritik pedas layaknya
persaingan mazhab nahwu. Dia menghargai pendapat yang bersebrangan dengan
pendapatnya atau mazhabnya, karena baginya “…fa al-haqqu ahaqqu ‘an yutba’
ayna halla” ‘kebenaran lebih berhak atau lebih layak untuk diikuti di
manapun ia berada’.
Oleh karena itu, untuk membangun teori linguistiknya, Ibnu Jinni
menggunakan metode ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek ilmiah,
menggabungkan metode deskriptif dan filsafati (rasional) sebagai piranti
analisisnya. Metode deskriptif ia gunakan dalam melihat realitas dan hakekat
bahasa. Baginya, bahasa adalah realitas sosial. Oleh karena itu, semua bahasa
yang muncul di tengah masyarakat adalah memiliki status yang sama. Ini seperti
terlihat dalam definisinya mengenai nahwu yang menurutnya ialah “meniru cara
bertutur orang Arab, segi perubahan I’rab-nya dan pola yang lain, seperti
meniru pola bentuk dual (tasniyyah), plural (jamak), tahqir
(tasgir), jamak taksir (irregular), idafah, penisbatan (al-nasab),
struktur kalimat dan lain sebagainya. Ini semua agar orang non-Arab bisa
bertutur sefasih orang Arab…”. Di sini, Ibnu Jinni tidak membatasi bahasa orang
Arab dari suku tertentu, atau bahasa Arab dari level tertentu yang dapat
ditiru.
Adapun metode filsafati ia gunakan untuk menguraikan alasan-alasan,
sebab-sebab (al-ta’lilat) yang tersembunyi di balik gejala atau fenomena
bahasa. Meskipun demikian, hamper seluruh ta’lil yang dilakukan oleh Ibnu Jinni
adalah ta’lil sosial, artinya, semua alasan-alasan yang ia kemukakan
dikembalikan pada para penutur bahasa itu sendiri. Penggabungan dua metode Ibnu
Jinni ini, dapat terbaca jelas dari uraian, analisis, juga berbagai definisi
yang ia rumuskan tentang “al-qaul, al-kalam, al-lugah, al-nahw, al-I’rab,
al-bina, asl al-lugah “ dan lain-lain.
Pada dasarnya Ibn Jinni berpendapat bahwa makna adalah hasil akhir
dari analisis menyeluruh terhadap peristiwa kebahasaan yang terjadi pada lafal.
Karena itu, dalam mempelajari makna harus ditinjau dari segala kebahasaan yang
mencakup konteks sosial, fonologis, morfologis, sintaksis dan leksikal.
Selanjutnya penulis akan menguraikan beberapa pendapat-pendapat
Ibnu Jinni mengenai pembahasan lingusitik. Di antaranya:
1.
Perbedaan Kalam dan Qaul
Jauh sebelum Ferdinand de Saussure , bapak linguistic modern Eropa,
khususnya aliran structural-deskriptif, menggagas tiga terminologinya yang
masyhur : parole, langage, dan langue, di Bagdad, meskipun dalam konteks
dan pengertian yang berbeda dari De Saussure, Ibnu Jinni dengan cerdas dan jeli
telah memulai bukunya, al-Khasais, dengan membahas perbedaan antara makna “kalam”
dan “qaul”.
Ibnu Jinni mempraktekkan teorinya yang ia sebut al-isytiqaq
al-akbar, yaitu penyimpulan makna dari suatu kata yang memiliki suku kata yang
sama. Tiga suku kata ق و ل (qaf, wawu,lam) bisa
dibolak-balik menjadi enam pola yaitu:
ق و
ل – ق ل و – و ق ل – و ل ق – ل ق و – ل و ق
Menurutnya, keenam pola tersebut menunjukkan makna yang sama, yaitu
“ringan dan cekatan” (al-khufuf wa al-harakah). Ibnu Jinni lebih lanjut
memberikan contoh masing-masing dari semua bentuk tersebut.
Sedangkan, tiga suku kata ك ل م meskipun diubah dan
dibolak-balik pola dan bentuknya seperti
ك ل
م – ك م ل – ل ك م – م ك ل –ل م ك
Dari kelima bentuk tersebut, kecuali bentuk yang terakhir,
menunjukkan makna yang sama, yaitu “kuat dan keras” (al-quwwah wa al-syiddah).
Setelah selesai menguraikan makna kata dari derivasi suku kata qaf,
wawu, lam, dan kaf, lam dan mim di atas, selanjutnya Ibnu
Jinni mendefinisikan “kalam” dan “qaul”.
Kalam ialah setiap ujaran yang berdiri sendiri dan memiliki makna
yang oleh kalangan ahli nahwu disebut “jumlah” seperti ujaran, زيد أخوك، قام محمد، ضرب سعيد، فى الدار أبوك، صه، مه dan
lain sebagainya.
Adapun qaul, pada dasarnya ialah setiap ujaran yang mudah
diucapkan oleh lidah kita, baik yang berdiri sendiri dan bermakna (jumlah
mufidah) maupun tidak. Jadi, pengertian kalam lebih umum daripada qaul, setiap
kalam adalah qaul, dan tidak sebaliknya.
Paparan Ibnu Jinni tentang perbedaan kalam dan qaul dari aspek
fungsi penggunaannya ialah representasi dari rasionalitasnya yang disukung oleh
fakta-fakta, sedangkan definisi bahasa yang melibatkan unsur bunyi, penuturnya,
unsur komunikasi dan penegasan perbedaan bahasa setiap suku bangsa adalah
mewakili dimensi sosiologis yang mengaitkan bahasa dengan perilaku manusia.
Dengan demikian, pengetahuan bahasa pun bersumber dari fakta bahasa, atau hasil
deduksi dari fakta atau fenomena bahasa, bukan dari murni akal manusia.
Selanjutnya,
Ibnu Jinni mengurai perbedaan makna keduanya dari segi penggunaanya, yaitu :
a.
Kata
‘qaul’ digunakan dan mengandung makna keyakinan atau pandangan, seperti Fulanun
yaqulu bi qauli Abi Hanifata, wa yazhabu ila qauli Malik. Pernyataan
tersebut tidak hanya menyatakan bahwa si Fulan meniru ucapan Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik tanpa menambah atau mengurangi, tapi yang dimaksudkan ialah
bahwa si fulan itu mengikuti pendapat dan gagasan Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik.
b.
Kata
‘kalam’ adalah kalimat yang mandiri , sempurna maknanya. Oleh karena itu, Ibnu
Jinni menyatakan bahwa bukti adanya perbedaan antara keduanya ialah telah
menjadi kesepakatan bersama menyebut al-Qur’an dengan Kalamullah, bukan Qaulullah.
2.
Al Lughah “Bahasa”
Kata لغة mengikuti wazan فعلة berasal dari kata لغوت
bermakna ‘saya berbicara’. Akar katanya adalah
لغوة seperti كرة dan قلة juga وثبة yang
semuanya mengandung huruf lam dan wawu , karena orang Arab
mengatakan كروت dan قلوت. Bisa juga kata لغة berasal dari kata لغي
– يلغي yang bermakna ‘bicara yang tak berarti’,
dimana bentuk masdarnya adalah اللغا atau
اللغو.
Sedangkan
bahasa menurut Ibnu Jinni adalahbunyi-bunyi yang dipakai oleh setiap kaum untuk
menyatakan tuiuannya. Definsi ini mengandung unsur-unsur pokok definisi bahasa
dan sesuai dengan banyak definsi modern tentang bahasa. Ia menjelaskan
karakteristik bunyi bahasa dan menegaskan bahwa bahasa adalah bunyi. Dengan ini
ia menghindari kesalahan umum yang menganggap bahwa bahasa dalam substansinya
merupakan fenomena tulis. Juga, definisi Ibnu Jinni menjelaskan bahwa bahasa
memiliki fungsi sosial yang ekspresif dan memiliki kerangka sosial. Oleh karena
itu, bahasa berbeda karena perbedaan kelompok manusia. Dengan demikian definisi
bahasa menurut Ibnu Jinni menjelaskan karakteristik bahasa dari satu aspek dan
fungsinya dari aspek lain.
Bahasa
merupakan bunyi yang diekspresikan untuk menyampaikan atau menyatakan maksud.
Dalam hal ini, bunyi menjadi titik tekan Ibnu Jinni. hal ini diperkuat lagi
dalam ulasannya seputar perubahan tanda I’rab yang terjadi pada huruf
akhir kata benda dalam sebuah kalimat. Menurutnya, yang menjadi factor pengubah
adalah bukan apa yang disebut dalam tradisi nahwu dengan “aamil”, tetapi
manusia itu sendiri yang merubah I’rab-I’rab tersebut. Kemudian, dia
mencontohkan kalimat ضرب سعيد جعفرا . Kata daraba pada kalimat tadi, sejatinya
tidak berpengaruh apa-apa, karena kata daraba ialah kata yang terdiri dari suku
kata dad, ra’ dan ba’, mengikuti wazan fa’ala yang hanya merupakan bunyi atau
suara, sedangkan suara termasuk sesuatu yang tidak dapat melakukan perbuatan.
Di sisi lain,
pendefiniasian bahasa oleh Ibnu Jinni ini nampaknya menandai perubahan
metodologi kajian linguistik Arab. Umumnya, para linguis sebelum Ibnu Jinni
atau bahkan mereka yang semasa dengannya, tak satu pun yang membuat definisi
bahasa. Indikasinya, hampir semua literature Arab modern ketika mendefinisikan
bahasa selalu mengacu pada definisi Ibnu Jinni, baru kemudian mengacu definisi
tokoh-tokoh yang muncul setelah Ibnu Jinni, seperti Ibnu Khaldun (1332 M – 1406
M), yang mendefinisikan bahasa sebagai, berbagai peristilahan yang telah
digunakan oleh umat (penuturnya) untuk menyatakan maksudnya. Pernyataan ini
berupa tindakan verbal, karenanya ia mestilah melekat kuat pada organ yang
berfungsi menyatakan, yaitu lisan. Setiap bangsa memiliki bahasa mereka
sendiri.
Tokoh nahwu
madzhab Andalus dan Spanyol dalam bait Alfiyah hanya membedakan antara kalam
dan qaul yang barangkali terinspirasi dari Ibnu Jinni, sehingga hampir memiliki
definisi yang sama antara keduanya.
3.
Dalalah
Dalalah oleh Ibnu
Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Dalalah lafziyyah,
yaitu makna yang ditimbulkan oleh lafal atau suara dari kata tersebut, misalnyaضرب menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk
kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau intonasi untuk kata yang bukan
berasal dari peniruan suara).
2)
Dalalah shinaiyyah,
yaitu makna yang dipengaruhi oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly
menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan tersebut . Perbedaan antara
kata صابر dan صبور , yang pertama berarti orang yang sabar,
yang kedua berarti orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan oleh
perbedaan shighah.
3)
Dalalah ma’nawiyyah,
yaitu makna terjadinya pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni
penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa.
Ibnu Jinni (1956 : 98) menganggap dilâlah lafdziyyah (dilâlah
shawtiyyah)sebagai dilâlah yang paling kuat di antara dua tingkatan dilâlah
lainnya, yaitu dilâlahshinâ’iyyah dan dilâlah maknawiyyah. Dilâlah
Shinâ’iyyah (dilâlah sharfîyyah) ialahdilâlah yang dihasilkan
dari satuan morfologis dalam kata. Dilâlah sharfîyyah bergantungkepada dilâlah
shawtiyyah, karena dilâlah sharfîyyah merupakan bentuk dari dilâlahshawtiyyah
baik secara lisan maupun tulisan. Dalam contoh kata قامdilâlahsharfîyyahnya adalah zaman.
Dilâlah Nahwiyyah,
yang diistilahkan oleh Ibnu Jinni dengan dilâlahma’nawiyyah adalah makna
yang dihasilkan dari susunan (struktur sintaksis) kata dengankata-kata lainnya
dalam kalimat. Pada contoh kata قامmaka dilâlah
nahwiyyahnya adalahfâ’ilnya, karena setiap fî’il pasti ada fâ’ilnya.
4.
Isytiqaq Kabir
Isytiqaq ada dua macam, shaghir dan kabir. Yang pertama (isytiqaq
shaghir) dikaji dalam ilmu sharaf , misalnya isim fa’il atau isim maf’ul yang
diambil dari masdarnya seprti قائل danمقول dari kata قول . Yang kedua (isytiqaq kabir) dikaji dalam
fiqh lughah. Isytiqaq kabir disebut juga dengan derivasi tengah, yaitu
pembentukan kata turunan dengan mengubah susunan huruf-huruf konsonan. Ibnu
Jinni termasuk salah seorang pendukung awal terhadap metode ini. Asumsi yang
mendasari prinsip ini adalah bahwa bunyi mempunyai hubungan yang erat dengan
makna tanpa memandang letak suatu huruf.
Menurut
Ibnu Jinni, kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf yang sama
meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna umum yang sama. Misalnya
kata-kata berikut ini : جبر – جرب- بجر- رب- برج – رجب mempunyai makna umum yang
sama yakni القوة والشدة (kekuatan dan kekerasan).
5.
Qiyas sebagai Metode
Penciptaan Bahasa Baru
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang pembentukannya
mestilah didasarkan atas kepentingan penggunanya, karena bahasa adalah milik
masyarakatnya secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh karena itu,
tak semestinya seorang individu tertentu menciptakan bahasa di luar yang
diperlukan atau tidak disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang
nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada umumnya, mereka tidak
memiliki perbedaan bahasa antara satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang
terjadi sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan kesamaanya.
Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya dibahas juga
oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni
membaginya dalam empat kriteria :
1)
Umum
terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus. Kriteria inilah yang
seyogyanya terjadi, seperti mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu
‘Amran, dan marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap subyek
tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek tunggal (maf’ul bihi)
ditandai I’rab nasab, dan kata benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan
I’rab kasrah.
2)
Umum
terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan seperti bentuk fi’il madi dari
kata يذر dan يدع . Artinya, kedua kata tersebut boleh
digunakan dengan cara qiyas, tapi jarang digunakan. Juga seperti kata مبقل dalam perkataan orang Arabمكان مبقل ‘daerah yang penuh dengan rerumputan/daerah
subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun digunakan oleh masyarakat dan betul
menurut qiyas, tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan kataباقل (baaqil), makaanun baaqilun, bukan makaanun
mubqilun.
3)
Banyak
digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas, seperti kata استصوب
dan استحوذ , sedangkan jika mengikuti qiyas bentuk
katanya adalah استصاب dan استحاذ tanpa huruf wawu illat.
4)
Menyimpang
dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan, seperti tetap pempertahankan huruf wawu
pada isim maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu,
seperti kalimat فرس مقوود dan توب مصوون . Kedua,
kata tersebut berasal dari kata dasar قاد dan صان yang asalnya قود dan صون .
Menurut qiyas yang standar isim maf’ul-nya ialah مقود dan مصون , dengan satu wawu saja.
Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan penggunaannya
(al-isti’mal) :
1) Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan penggunaan
dalam arti “umum digunakan namun menyimpang dari segi qiyas”, maka yang menjadi
acuan atau yang didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja, kata
yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan parameter qiyas, seperti kata استحوذ dan استصوب. Jadi tidak boleh mengiaskan kata استقام dan استساغ misalnya, menjadi استقوم
dan استسوغ.
2)
Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas, maka ikutilah cara orang
Arab saja. Namun, lakukan pada kasus lain yang senada atau se-wazan, di
antaranya ialah seperti tidak dipakainya kata وذر dan ودع , sebab
orang Arab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita boleh menggunakan
kata lain yang senada dengannya, seperti kata وزن dan وعد.
6.
Arbitrer sebagai Dasar Pemilihan Huruf dan Penyusunan Kata
Pada umumnya, kata dalam bahasa Arab terdiri dari dari tiga huruf.
Komposisi dan pemilihan huruf-huruf tersebut bersifat arbitrer, hal ini seperti
diisyaratkan oleh Ibnu Jinni sebagi berikut:
“Ketahuilah, bahwa ketika seorang penggagas atau peletak istilah
dalam suatu bahasa hendak melakukan penyusunan sebuah kata, dia akan
mengerahkan segenap pikirannya. Dengan inteleknya ia mencermati segi-segi yang
universal dan yang particular. Dia sadar harus meninggalkan fonem yang buruk
(susah) jika dirangkai seperti kata قج , هع , dan كق , dia juga tahu bahwa kata yang panjang dan
membosankan karena memiliki banyak huruf tidak bisa diubah dalam bentuk yang
moderat dan paling ringan, yaitu bentuk sulaasi (kata yang terdiri dari
tiga huruf). Oleh karena itu, gambaran-gambaran tadi menuntut dia untuk memakai
sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Jadi, huruf-huruf pembentuk kata
itulah yang mendorong orang menyeleksinya. Kejadian ini seumpama setumpuk harta
yang ditaruh di depan pemiliknya, dia ambil sebagian untuk digunakan dan
menyimpan sebagian yang lain, dia seleksi mana benda yang bagus dan mana yang
jelek , lalu yang jelek dia buang semua. Ini sama dengan mereka yang membuang
huruf-huruf yang tak layak untuk disusun atau dirangkai. Kemudian, apa yang
telah dia ambil itu ia tunjukkan sisi baiknya, dan dia gunakan sesuai yang
diperlukan, dan meninggalkan sebagian karena alasan seperti yang telah saya
kemukaka. Dia juga tahu jika seandainya dia ambil apa yang telah dia buang
untuk mengganti yang telah disimpan, itu bisa saja demikian dan dapat juga
memenuhi keperluannya, misalnya, jika seseorang mau menggunakan kataلَجَع sebagai ganti dari kata نجع toh bisa saja dan sudah memenuhi maksudnya...”
Arbitrerasi bahasa, oleh Ibnu Jinni dicontohkan dengan makhluk yang
disebut dengan ‘insan’ oleh orang Arab. Jika mereka mau dan sepakat
menggantinya dengan ‘marad’. Misalnya, anggota tubuh yang disebut “ra’sun”
diganti dengan “sar”. Semua itu boleh-boleh saja.
Penjelasan Ibnu Jinni diatas mengilustrasikan konsepsinya mengenai
langkah-langkah pembentukan atau penyusunan kata sebagai berikut:
1. Membuang
(mensortir) kata-kata yang susah dibunyikan. Pada umumnya, kasus seperti ini
ialah kata-kata yang terbentuk dari huruf yang memiliki makhraj (fonem)
yang sama, seperti kata هع di mana huruf ha
dan ‘ain sama-sama huruf halaq.
2. Menghindari,
bukan membuang sama sekali, kata yang memiliki banyak huruf, seperti yang
terdiri dari empat huruf al-ruba’i) dan yang terdiri dari lima huruf
(al-khumasi).
3. Melakukan
seleksi pada kata-kata yang terdiri dari tiga huruf (al-sulatsi), karena jenis
kata sulatsi inilah yang paling banyak ditemukan, dan tak mungkin memakai
semuanya.
4. Ukuran atau standar penyeleksian
bersifat arbitrer, tidak ada ukuran baku, tergantung peletak atau penyusunnya.
7.
Istishhab al-Hal
Pengaruh ulama ushul fikih terhadap ulama ushul nahwu tampak
padapengertian ilmu. Para ulama ushul nahwu meniru ulama ushul fikih dalam
pengertianushul dan dalil-dalilnya.
Istishhab al-hal adalah
suatu istilah dalam ushul fikih yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu.
Istilah ini lahir pada periode terakhir ulama ushul nahwu, yaitu setelah abad
ke 4 H. Ibn Jinni tidak menggunakannya, sekalipun ada
Pemahaman yang sama dengan istilah ini. Ini yang kita temukan dalam
“Al-Khashaish”, juz 2, halaman 459, suatu bab dalam menetapkan
ucapan-ucapan menurut posisi awal sebelum ada usaha untuk meninggalkan dan
merubahnya. Inilah yang diistilahkan dengan “istishhab al-hal”, istilah
fikih yang didefinisikan oleh para ahli fikih dengan : “Penetapan hukum atas
sesuatu dengan keadaan yang berlaku sebelumnya sampai ada dalil yang merubah
keadaan itu”, atau “Pemberlakuan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk masa
kini sampai ada dalil yang merubahnya” (Ilmu Ushul Fikih, hal. 91).
Ibn al-Anbari berbeda dengan Ibn Jinni, beliau menggunakan istilah
ini dan mendefinisikannya. Katanya : Ketahuilah bahwa istishhab al-hal termasuk
dalil yang mu’tabar, sedangkan yang dimaksud dengannya adalah menetapkan
keadaan asal dalam ism yaitu i’rab, dan menetapkan keadaan asal
dalam fi’il yaitu bina sampai ada yang mewajibkan bina pada
ism dan mewajibkan i’rab pada fi’il. Adapun yang
mewajibkan bina pada ism adalah serupa harf atau yang
mengandung makna harf.
D. Kontribusinya Terhadap
Bahasa Arab
Sebagai cendikiawan muslim yang memiliki kemampuan di berbagai
bidang ilmu, Ibnu Jinni selalu memberikan kontribusi-kontribusinya pada dunia
Islam dan bahasa. Namun penulis akan mengulas kontribusinya pada bidang
linguistik. Karena pemikiran-pemikiran Ibnu Jinni sangat berperan di bidang
bahasa, terutama bahasa Arab.
Banyak pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ibnu Jinni dalam
berbagai bidang ilmu. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, kita dapat
temukan kontribusi-kontribusinya melalui karya-karya yang ia tulis. Seperti
halnya mengenai bahasa Arab. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa bahasa Arab
adalah bahasa dunia yang paling banyak makna yang abstrak, bahkanbanyak kata
dalam bahasa Arab telah kehilangan makna kongkrit/indrawi. Fi'il (قضي)
artinya (حكم)
padahal arti asalnya adalah qath'ul hissi (memutuskan dalam arti
indrawi); fi'il (عقل) artinyaadalah (فهم); itu diambil dari (عقل الناقة), yaitu
mengikatnya; fi'il (أدراك), arti asalnya adalah bulugh al-hissi (sampai
secara fisik). Misalnya: (فلان أدراك القطار), yaitu mendapatinya/ataumengejarnya.
Setiap pendapat yang ia kemukakan tidak mesti sependapat dengan
para tokoh linguis lainnya. Artinya, banyak juga perbedaan pendapat yang ia
kemukakan. Contohnya mengenai asal-usul bahasa. Mazhab al-Wadh’iy berpendapat
asal-usul bahasa pertama adalah buatan manusia sendiri dan hasil kesepakatan.
Ibnu Jinni menulis seperti dikutip Imil Badi Ya’qub bahwa para pakar bahasa berpendapat
asal-usul bahasa adalah tawadhu’ (buatan manusia) bukan wahyu, meskipun teori
ini tidak memilki sandaran dalil naqli dan bukti historis. Teori ini mempunyai
beberapa alasan dalam rangka mendukung pendapatnya antara lain:
1. Bahasa
bukan diwahyukan langsung oleh Allah swt seperti pendirian teori tauqifi, akan
tetapi ayat tersebut (QS. Al-baqarah 31) mengandung tafsir bahwa Allah swt
mengilhamkan kepada manusia kemampuan (al-Qudrah) membuat bahasa
sehingga dapat merancang dan mencipta bahasa. Ibnu Jinniy menulis lafdz علم di atas bermakna اقدر (Allah memberi kemampuan) kepada manusia
sehingga mampu membuat lafadz-lafadz.
Firman Allah swt dalam surat al-Rahman ayat 4:
علمه البيان
“Dia (Allah) mengajarkan manusia al-bayan”.
2. Allah
swt mengajarkan kepada manusia al-Bayan. Sayyid Qutub dalam ‘Fi dzilalil
Al-Qur’an’ menjelaskan, Al-Bayan adalah kekuatan atau kemampuan berbahasa.
Maksudnya secara kodrati manusia memiliki kemampuan berbicara yang menjadi
bawaan sejak penciptaan. Ulama lain menjelaskan makna al-Bayan senada dengan
pandangan Sayyid Qutub di atas.
Sedangkan bantahan golongan ini terhadap pendapat yang mengatakan
bahasa murni ilham dan pengajaran Tuhan adalah bahwa firman Allah swt Q. S.
Al-Baqarah ayat 31 yang dijadikan hujjah mazhab tauqifi tesebut, menurut mazhab
ini, tidak dapat dijadikan dalil bahwa bahasa memang diajarkan karena ayat
tersebut multitafsir.
Keterangan di atas menjadi jelas bahwa asal-usul bahasa adalah
buatan manusia, dengan alasan dan bantahan terhadap pendapat teori Tauqifi
(Tokoh-Tokoh aliran aliran Al-Muwadha’ah). Secara umum, ahli yang berkutat pada
penelitian saintik murni yang diwakili oleh dunia Eropa belahan barat dunia
pendukung teori ini.
Berdasarkan penelusuran literatur yang membahas seputar sejarah
asal-usul bahasa pertama manusia, tokoh-tokoh aliran Al-Wadh’iy adalah sebagai
berikut:
Seperti ditulis Ibnu Jinni sendiri yang dikutip Abdu al-Rahman
al-Burayni diketahui bahwa pada tahap ia (Ibnu Jinniy) termasuk tokoh yang
berpendirian bahwa asal-usul bahasa adalah al-Wadh’iy/al-Muwadha’ah, berbeda
dengan gurunya, Ibnu Faris yang berpendapat bahwa bahasa adalah ilham dan murni
pengajaran Tuhan. Tetapi seiring perjalanan waktu dan kematangan keilmuan serta
perenungannya akhirnya Ibnu Jinni berpendapat bahwa yang kuat dalam jiwa saya
setelah lama merenungkan perkara ini adalah asal-usul bahasa adalah tauqifi.
Terdapat jugakontribusinya mengenai istilah nahwu dan cakupannya.
Dalam mengkaji struktur bahasa dari segi fonologi, morfologi, dan sintaksis,
para linguis mengistilahkan dua nama dalam pusaka Arab, yaitu: 1) nahwu dan 2)
ilmu bahasa Arab. Istilah nahwu merujuk ke abad 2 Hijriyah. Ia masih dipakai
untuk mendeskripsikan bidang kajian ini sampai sekarang. Kitab Sibawaih
diklasifikasikan ke dalam kitab tentang nahwu. Abu Thayyib, linguis (351 H)
menamakannya Qur`an an-Nahwi. Juga, Sibawaih dikenal sebagai orang yang paling
mengetahui nahwu sesudah Khalil. Dengan pengertian ini, nahwu mencakup
seperangkat kajian yang diklasifikasikan dalam linguistik modern dalam kerangka
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sesungguhnya Sibawaih penyusun kitab
tentang nahwu (gramatika) bahasa Arab yang paling klasik yang sampai kepada
kita tidak membagi ktiabnya ke dalam topik-topik besar yang distingtif. Akan
tetapi ia cukup menghimpun banyak bab secara berturut-turut. Ia memulai
kitabnya dengan masalah i'rab dan dari masalah i'rab, ia beralih ke sejumlah
masalah yang berkaitan dengan nahwu. Sesudah itu ketika ia beralih ke bab-bab
yang bertalian dengan struktur sharaf (morfologi), ia harus menafsirkan
beberapa struktur itu berdasarkan kajian fonologi kemudian pada akhir kitabnya
dicantumkan bab-bab yang bertalian dengan fonologi. Sibawaih tidak membuat
istilah-istilah yang membedakan dengan jelas segmen-segmen fonologi, morfologi,
dan sintaksis. Semua ini menurutnya termasuk dalam satu bidang, yaitu bidang
nahwu (gramatika).
Pada abad-abad pertama hijriyah, para linguis masih memakai istilah
nahwu dalam banyak hal dengan makna umum ini. Dalam definisi Ibnu Jinni (391 H)
nahwu mencakup skop-skop berikut: i'rab, tatsniyah, jamak, tahqir, taksir,
idhafat, nasab, tarkib, dan sebagainya. Maka menurut Ibnu Jinni nahwu mencakup
kajian-kajian ini yang diklasifikasikan sekarang dalam kerangka morfologi di
samping hal yang berkaitan dengan sintaksis.
Demikianlah pemikiran-pemikiran Ibnu jinni yang dikontribusikan
sebagai seorang tokoh linguis. Tentunya, semua pemikiran Ibnu Jinni sangat
berperan dalam bahasa Arab.Dengan ketekunan Ibnu Jinni menelususri bidang
lingusitik, kontribusinya terhadap bahasa Arab sangatlah luas. Sehingga
pembahasan atau kajian bahasa semakin mendalam dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian dan ulasan tentang pemikiran Ibnu Jinni di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Jinni mencoba membawa wacana dan diskusi-diskusi
linguistik Arab dari yang semula terfokus pada perdebatan nahwu dan fanatisme
mazhabnya kepada kajian-kajian yang lebih umum dan komprehensif.
Bahasa, dalam pandangan Ibnu jinni, bukan merupakan murni entitas
rasional tetapi memiliki dimensi sosial, karena itu, metode, teori dan
pendekatan yang dia gunakan pun mestilah menggabungkan keduanya.
Jika teori linguistik Barat Modern memfokuskan obyek kajiannya pada
empat unsur penting : Fonetik, sintaksis, morfologi dan semantic, maka
sesungguhnya tradisi linguistic Arab, meskipun belum tersistem secara terpadu
jauh mendahului kajian mereka seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jinni. Bahkan
pendekatan sosiologis atau yang lain dapat kita telusuri dan dicari akarnya
dari teori-teori Ibnu Jinni dan para linguis generasi setelahnya.
Teori dan metode serta pemikirannya dalam linguistik diantaranya
adalah perbedaan kalam dan qaul, al-Lugah ‘bahasa’, dalalah, isytiqaq kabir, teori
qiyas sebagai metode penciptaan bahasa baru, arbitrer sebagai dasar pemilihan
huruf dan penyusunan kata, serta istishhab al-hal.
B.
SARAN
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyarankan agar makalah ini
ditinjau kembali keabsahannya dengan cermat. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
عكابي،
رحاب حضرب. موسوعة عباقرة الاسلام في النحو واللغة والفقه. بيروت .1993 .
النجار،
عبد الحليم. تاريخ الادب العربي الجزء الثاني .دارالمعارف.
الطظاوي، محمد.نشأة النحو و تاريخ
أشهرالنحاة.1969
.
Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab
Linguistik.dalam Adabiyyat Vol.8.2009.
Aminullah. Langkah Kodifikasi Bahasa Arab dan Kajian Filologi
(Karya Ilmiah). Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. medan 2008.
Ibnu Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983. Al-Khashais. Muhammad
Ali al-Najjar (editor). Beirut: Alam al-Kutub.
Ibnu Jinni. Abu al-Fath Utsman. al-Lam’u.
PDF. Linguistik Arab. Diunduh pada tanggal 8 Januari
2013. Pukul 14:53 WIB.
Hamid Hamdani, Wagino. Filsafat Bahasa Arab.
Bandung:PSIBA Press. 2008. h. 38. (buku asli : Usman Amin. Falsafah
al-Lughah al-‘Arabiyah. Kairo:Maktabah Mesir. 1965.)
Zaenuddin,Mamat. Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang
Dipengaruhi oleh Ushul Fiqh, Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Jadal dan Mantik.
Makalah Studi Naskah Pemikiran Bahasa Arab. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(S3). 2004.
الدكتور رحاب حضرب عكابي. موسوعة
عباقرة الاسلام في النحو واللغة والفقه.1993.
بيروت. ص 96
الدكتور عبد الحليم النجار .تاريخ الادب العربي الجزء الثاني .دارالمعارف. ص 244
Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu
Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik dalam
Adabiyyat. Vol. 8. 2009. h 54.
Abdillah,
Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik dalam
Adabiyyat. Vol. 8. 2009. h. 57.
Ibnu
Jinni, Al-khashaish (Beirut : Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1983),
jilid 1, h. 374.
Ibnu
Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, h.5-12.
Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam
Adabiyyat Vol.8.2009.h. 61.
Ibid. h.59 . Lihat juga
di kitab Al-Khashaish jilid 1 h. 17 dan 18.
Ibnu
Jinni, Abu al-Fath Utsman.1983.Al-Khashais, h.33
Abdillah,
Zamzam Afandi. Ibnu Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik.dalam
Adabiyyat Vol.8.2009. h. 61
Aminullah. Langkah Kodifikasi Bahasa Arab dan Kajian Filologi.
Karya Ilmiah. Fakultas Sastra. Universitas Sumatera Utara. medan 2008. h.
12.
Ibnu
Jinni, Abu al-Fath Utsman. 1983.Al-Khashais,
Hal.224
Ibnu
Jinni, Abu al-Fath Utsman. Al-Khashais. 1983. h. 64-65.
Abdillah, Zamzam Afandi. Ibnu
Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik (dalam
Adabiyyat). Vol. 8. 2009. h. 65. Lihat
juga di kitab Al-Khashaish jilid 1 h. 44.
Mamat
Zaenuddin. Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang Dipengaruhi oleh Ushul Fiqh,
Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Jadal dan Mantik. Makalah Studi Naskah
Pemikiran Bahasa Arab. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (S3). 2004. h. 1.
Wagino
Hamid Hamdani. Filsafat Bahasa Arab. Bandung:PSIBA Press.
2008. h. 38. (buku asli : Usman Amin. Falsafah al-Lughah al-‘Arabiyah.
Kairo:Maktabah Mesir. 1965.)
Linguistik Arab. Diunduh pada tanggal 5 Januari 2013. Pukul 09:23 WIB.