Peradaban Islam berkembang melalui para Ilmuan dan cendikiawan yang
melahirkan karya-karya serta pemikiran-pemikiran cemerlang yang merubah sistem
serta tatanan kehidupan yang signifikan. Perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi melahirkan perkembangan disiplin ilmu yang terus bercabang dan
membentuk ilmu baru yang dapat dikaji lebih mendalam sehingga akan terus
menghasilkan perkembangan ilmu pengetahuan.
Peradaban tertua di dunia di mulai dari dua peradaban besar yaitu,
peradaban Romawi dan peradaban Persia. Seiring perjalanan waktu dua peradaban
terpecah belah dengan kekuasaan-kekuasaan baru terbentuk dan mulai bergeser
terlepas dari sistem kerajaan masing-masing peradaban. Kebudayaan dan peradaban
islam memiliki keterkaitan dengan identitas peradaban Persia yaitu Iran, lahir
para ilmuawan yang tak terhingga membawa reputasi tinggi terhadap peradaban
islam di muka bumi.
Ayatollah
Murtaza Motahhari dan Dr. Ali Akbar Velayati berkontribusi dalam menerjemahkan
ensiklopesia Islam dan Iran: kemajuan kebudayaan dan peradaban. Karya fenomenal
historis tentang para cendikiawan, ulama, dan ilmuwan muslim yang berkontribusi
besar terhadap pengaruh peradaban dan
kebudayaan islam. Tapi peradaban
keilmuan, khususnya dalam bidang kedokteran yang dicapai oleh bangsa-bangsa itu
akhirnya bergeser. Zaman pertengahan, peradaban ada ditangan Islam, dimana Ilmu
pengetahuan mendapat perhatian penuh. Tidak terkecuali ilmu kedokteran, ketika
penerjemahan dilakukan secara besar-besaran. Dari kegiatan itu, dapat dikatakan
kejayaan Islam dalam keilmuan dimulai. Inilah zaman menuju keemasan Islam, yang
dalam dunia politik kekhalifahan dipegang oleh bani Abbasiyyah.
Menelusuri kembali
kelahiran dan perkembangan ilmu, tidak mungkin kita lewatkan para tokoh yang
sangat berperan dalam meletakan karya dan ilmunya. Al-Razi dan Ibnu Sina adalah
tokoh penting yang karya-karyanya paling berpegaruh di dunia. Dengan
karya-karya yang dihasilkan dalam bidang kedokteran, pengabdian dan kejeniusan
al-Razi diakui oleh Barat. Banyak ilmuan Barat menyebutnya sebagai pionir
terbesar dunia Islam dibidang kedokteran. “Razhes merupakan tabib terbesar
dunia Islam, dan satu yang terbesar sepanjang sejarah”, jelas Max Mayerhof.
Sementara sejarawan barat terkenal, George Sarnton, mengomentari al-Razi ,
“AL-Razi dari Persia, dia juga kimiawan dan fisikawan. Dia bisa dinyatakan
salah seorang salah seorang perintis latrokimia zaman renaisans,,,maju dibidang
teori, dia memadukan pengetahuannya yang luas melalui kebijaksanaan Hippokratis.
Dalam karyanya,
Al-Mansuri” (Liber Al-Mansofis) Ia menyoroti tiga aspek penting dalam
kedokteran, antara lain; kesehatan publik, pengobatan preventif, dan perawatan
penyakit khusus. Bukunya yang lain berjudul 'Al-Murshid'. Dalam buku itu,
Al-Razi mengupas tentang pengobatan berbagai penyakit. Buku lainnya adalah
'Al-Hawi'. Buku yang terdiri dari 22 volume itu menjadi salah satu rujukan
sekolah kedokteran di Paris. Dia juga menulis tentang pengobatan cacar dan
cacar air dalam Kitab fil al-Jadari wal-Hasba yang merupakan catatan
pertama tentang metode diagnosis dan perawatan atas dua penyakit dan
gejal-gejalanya.
Dunia Islam memanggilnya Ibnu Sina, tapi kalangan Barat menyebutnya dengan
panggilan Avicenna. Ia merupakan seorang ilmuan, filsuf dan dokter pada abad
ke-10. Selain itu dia juga dikenal dengan penulis yang produktif. Dan sebagian
banyak tulisannya berisi tentang filsafat dan pengobatan.Karya-karya Ibnu Sina
dalam literatur perkembangan ilmu kedokteran adalah Qanun fi Attib, dan Assyifa
yang menjadi rujukan utama kedokteran dunia hingga saat ini.
Penyebaran islam di Indonesia tak lepas dari pengaruh datangnya
bangsa Arab, India, Persia dan lain-lain, pemikiran, karya sastra Melayu juga
memuat hikayat-hikayat yang bersumber dari teks-teks literatur Arab, Persia,
dan India.
Dalam koleksi Epirnius ditemukan naskah-naskah Melayu abad ke 16 M
yang ditulis di Aceh Darussalam. Naskah-naskah tersebut memuat hikayat-hikayat
yang bersumber dari teks Parsi seperti Hikayat Yusuf, Hikayat Muhammad Ali
Hanafiah, Kitab Nasih al Mulk dan bunga rampai terjemahan puisi Arab dan Parsi
karya Abu Tammam, Omar Khayyam, Attar, Sa’di al Syirazi, Jalaluddin Rumi, dan
lain-lain.
Ilmuwan Iran dalam bidang matematika dan astronomi diantaranya
Nasir al Din al Tusi, khayyam Neyshaburi, Ibnu Haitam Alvazi, Abdolrahman Sufi
Razi, Abolvafa Buzjani, Ibnu Sina dan lain-lain telah melahirkan karya-karya
fenomenal yang menjadi rujukan dunia pengetahuan sampai saat ini.
Era kejayaan
Islam, kegiatan pengkajian ilmu pengetahuan semakin maju pesat. Ilmuwan dan
cendikiawan Islam sangat berjasa dengan kontribusinya pada dunia dalam
kebudayaan dan peradaban islam. Hal ini dapat dilihat melalui penemuan-penemuan
mereka dalam menganilisis dan menemukan penemuan serta mengembangkan
cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan. Rumah Hikmah adalah salah satu pusat
pengembangan ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan Al Ma’mun Dinasti
Abbasiyah, selain itu banyak didirikan masjid-masjid, madrasah-madrasah sebagai
tempat pengkajian ilmu, dan masih ada pula bangunan-bangunan lembaga yang
berdiri kokoh hingga sekarang.
Pendirian Madrasah sebagai lembaga
pendidikan yang tidak hanya mempelajari bidang keagamaan, mulai gencar pada
abad ke-14 pada era Usmaniah hingga Sultan Muhammad berkuasa. Madrasah tersebut
banyak mencetak yang tidak hanya ulama’, tapi seorang ilmuwan. Dokter-dokter
pun banyak terlahir dalam pendidikan ini. Pendidikan era Usmani ini, mempunyai
konsep dan metode khusus dalam mendidik tenaga medis, selain sudah
memiliki tabib, yang dikenal spesialis penyakit pada era itu.
Ternyata dalam era Usmani,
pendidikan kedokteran tidak hanya dilakukan di gedung sekolahan, tapi juga di
sebuah Rumah Sakit yang memang ada khusus tempat didik calon dokter. Bedanya
dengan madrasah, di RS tidak hanya diajari teori-teori seputar kedokteran, tapi
juga praktek medis langsung. Sedangkan Madrasah lebih banyak mempelajari seluk
beluk kedokteran secara teoritis.
Tulisan ini saya susun setelah mengikuti International Conference
The Role and
contribution Iranian Scholars to Islamic Civilization
di Auditorium Harun Nasution UIN Jakarta